Kesehatan
reproduksi menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh,
bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hal ini terkait
pada suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta
mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman.
Kesehatan
reproduksi terkait dengan siklus hidup, dimana setiap tahapannya mengandung
risiko yang terkait dengan kesakitan dan kematian. Kondisi yang baik mulai dari
bayi dalam kandungan akan berdampak positif untuk meneruskan generasi
berikutnya.
Salah
satu yang dapat menjadi penyebab terganggunya kesehatan reproduksi dari
Pernikahan Dini (early Marriage) atau Pernikahan Anak (Child Marriage)
diartikan sebagai perikatan yang disahkan secara hukum antara dua lain jenis
untuk membentuk sebuah keluarga berada dibawah batas umur dewasa atau 18 tahun
atau pernikahan yang melibatkan satu atau dua pihak yang masih anak-anak dengan
terpaksa atau tidak terpaksa. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 perkawinan
dini di Provinsi Bengkulu sebesar 52,5 persen dan pada kelompok umur 10 – 14
tahun sebesar 6,3 persen.
Pernikahan dini sering berujung pada kerugian baik dari segi kesehatan maupun perkembangan
bagi pihak perempuan, juga menjadi isu pelanggaran HAM yang terabaikan secara
luas serta biasanya dikaitkan dengan sosial dan fisik membawa dampak buruk bagi perempuan muda
dan keturunan mereka.
Pernikahan
dini terkait dengan berkurangnya taraf hidup anak dan hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan formal untuk mengembangkan dirinya dikarenakan
bertambahnya tanggung jawab didalam rumah tangga terutama setelah mengandung
dan memiliki anak.
Perempuan
muda yang melakukan pernikahan dini sering dipaksa keluar dari sekolah tanpa
pendidikan atau putus sekolah, status sosial yang lebih rendah di keluarga, suami kurang
memiliki kontrol reproduksi
sehingga kesehatan perempuan muda yang melakukan pernikahan dini terpengaruh
karena tubuh terlalu muda hamil dan melahirkan, sehingga resiko kematian ibu
masa hamil, melahirkan dan nifas hasil perhitungan sementara BPS Provinsi
Bengkulu terjadi kematian ibu semasa hamil, melahirkan dan masa nifas 220 per
100.000 kelahiran hidup serta kematian bayi tinggi hasil SDKI tahun 2012
sebesar 29 per 1.000 kelahiran hidup, terjadi kekerasan dalam
rumah tangga sehingga
perceraian dari kalangan keluarga muda tinggi. Keadaan ini terjadi di Kabupaten
Mukomuko dari hasil Susenas Tahun 2011 Usia Kawin Pertama sebesar 18,8 tahun
dibandingkan dengan Ikatan dalam perkawinan hanya 17,52 tahun, Kabupaten
Bengkul Utara Usia Kawin Pertama rata-rata 19,59 tahun dan Ikatan Perkawinan
Pertama 18,92 tahun.
Dari
hasil survey mengenai pernikahan dini di Indonesia pada beberapa wilayah
provinsi diambil kesimpulan penyebab dari pernikahan dini karena pendidikan rendah dan menyebabkan anak
perempuan menjadi putus sekolah dan terisolasi terhadap anak perempuan,
hilangnya kesempatan meraih pendidikan formal menghambat perkembangan kualitas
perempuan yang mendorong ketidaksetaraan dan terhambatnya proses pemberdayaan
perempuan. Secara nasional pernikahan dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang
tidak sekolah 9,5 persen serta tidak tamat SD 9,1 persen.
Pernikahan
dini disebabkan factor ekonomi lebih banyak dilakukan dari keluarga miskin
dengan alas an dapat mengurangi beban tanggungan dari orang tua dan
menyejahterakan remaja yang dinikahkan dan biasanya adanya keterpaksaan untuk
melakukan pernikahan dini. Dampak menikahkan anaknya yang belum cukup umur,
dampaknya bagi keluarga muda dari segi kebutuhan ekonomi akan mengakibatkan
future shock atau stress, akibat belum
siapnya secara ekonomi disatu sisi dorongan konsumsi dan kebutuhan baru akibat
perubahan jaman yang cepat, Keluarga Baru dari kelompok umur 10 – 14 tahun yang
sama tidak bekerja 4,8 persen, masih sekolah 3,7 persen dan dikalangan
petani/nelayan/buruh 6,3 persen, ketiga dari perkawinan dini yaitu kultur/budaya/agama dimana perkawinan muda
dari perdesaan lebih tinggi 6,2 persen dibandingkan perkotaan 3,4 persen, sex
bebas pada remaja juga sebagai factor pendorong dari adanya pernikahan dini.
Secara
hukum masalah perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan no 1 tahun 1974, terhadap persyaratan perkawinan pada Bab II penulis
mendapatkan perbedaan penafsiran pada pasal 6 dan pasal 7. Pada pasal 7 ayat 1
tertulis perkawinan diijinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun, pihak
perempuan mencapai 16 tahun, pada ayat 2, pada ayat 1 bilama belum berumur
ketentuan diatas dapat minta dispensasi pada pengadilan atau pejabat lain yang
dimintakan oleh pihak kedua orang tua baik dari pihak pria maupun wanita, bagi
penulis penafsiran berbeda terletak pada pasal 6 ayat 2 yaitu untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin dari kedua orang tua, sehinga Indonesia sampai saat ini belum
mengatur usia legal minimum menkah adalah 18 tahun keatas padahal hingga tahun
2010 sudah terdapat 158 negara dengan usia legal minimum menikah 18 tahun
keatas, akibatnya saat ini Indonesia masih tertinggal dari Negara lain dalam
hal memberikan perlindungan anak dan usaha mengurangi terjadinya pernikahan
dini.
Vidhyandika
Moeljarto (1977) mengungkapkan pernikahan dini memberikan pengaruh hubungan
gender yang asimetris menyebabkan kurangnya akses wanita terhadap bermacam hal
seperti pangan, kesehatan, pendidikan dan keterampilan secara langsung
mengakibatkan kemiskinan, lebih lanjut pendapat dari ahli lainnya Todaro
menyatakan wanita miskin maka anak menjadi satu-satunya sumber yang dapat
dikontrol untuk mengurangi beban
pekerjaan bagi keluarga miskin.
Keutuhan
atau ketahanan keluarga dipengaruhi oleh factor ekonomi dalam pengambilan
keputusan keluarga, seiring arus modernisasi dan informasi (IT) yang cepat ,
kebutuhan konsumsi keluarga yang makin tinggi mendorong keinginan keluarga
untuk meningkatkan daya beli dan mengurangi beban tekanan ekonomi. Dampak
secara langsung dijumpai pada keluarga perdesaan begitu banyak dorongan kebutuhan
konsumsi dan kebutuhan baru yang direspon segera, belum lagi tuntutan anggota
keluarga yang tinggi akibat perubahan jaman dan arus informasi yang cepat
sebagai ilustrasi pertumbuhan kendaraan roda dua di perdesaan sangat pesat.
Dalam
persoalan pernikahan dini keluarga jangan sampai terjebak pada situasi
disorientasi pada individu dikarenakan perubahan yang terlalu banyak dalam
waktu singkat, sedangkan peran orang tua terutama wilayah perdesaan yang
mempunyai anak remaja belum menikah jangan terjebak untuk mengulang kebiasaan
yang sudah pernah sukses dilakukan sebelumnya menikah dini tetapi sebenarnya
tidak relevan dan tidak cocok dilakukan pada keadaan saat ini, dalam hal ini
menikahkan anaknya pada usia dibawah 18 tahun.
Mengurangi
pernikahan dini pemerintah mempunyai andil besar terutama meningkatkan
pendidikan dengan memberikan ketersediaan atau akses secara luas melalui
penambahan gedung sekolah, Sumber Daya Manusia yaitu tenaga pendidik(guru dan
administrasi) terdidik dan mumpuni, sarana dan prasarana lengkap dan
disesuaikan dengan kondisi sekarang, terpenting lagi biaya sekolah yang
terjangkau oleh masyarakat.
Perhatian
pemerintah dalam meningkatkan ekonomi keluarga memberikan dampak pengurangan
pernikahan dini, dalam sisi hukum melakukan regulasi terhadap undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dengan memberikan ketegasan terhadap
batas umur minimal menikah, jajaran kesehatan, Badan Kependudukan dan KB,
Departemen Agama, Sosial memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan
usia kawin dalam mewujudkan keluarga sejahtera dan berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar